Langsung ke konten utama

Makalah Antropologi Agama "Siri' Na Pacce" (Budaya Bugis Makassar)


-->

MAKALAH INDIVIDU

SIRI’ NA PACCE

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Antropologi Agama

DOSEN PENGAMPUH :
AMIR MAHMUD MADUBUN, SH, MH



OLEH :

NAMA           : ABDUL KARMAN
NIM               : 008 111 001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
AL-FATAH JAYAPURA
2010


BAB I
A.       PENDAHULUAN
Beragam budaya sebagai sebuah pemikiran yang prinsipil dan esensial kehilangan jati diri yang sesungguhnya, banyak di antaranya tinggal sebuah puing cerita dan sebagian yang lain kaku di atas definisi sempit yang menggeneralisasikan hakikat dan makna prinsipil kebudayaan yang begitu luas serta penurunan eksistensi dalam menstimulasi lahirnya kewibawaan dan kehormatan.
Sebagai gambaran nilai budaya yang prinsipil dan sepantasnya terinterpretasikan dalam setiap sub kebijakan nasional adalah sebuah budaya “Siri’ na Pacce”. Budaya siri’ na pace yang menggambarkan sebuah tekad dan prinsip langkah kebijakan dan kebijaksanaan di atas nilai-nilai harga diri serta harkat dan martabat adalah gambaran sebuah nilai kebudayaan yang mengedepankan harga diri dan kehormatan sebagai parameter setiap kebijakan yang menyangkut kemaslahatan masyarakat. Siri’ na pacce mempunyai nilai-nilai harkat martabat dan kehormatan yang tinggi, sejatinya nilai-nilai budaya ini senantiasa mengedepankan pada prinsip pembelaan dan penjagaan harga diri apapun resiko yang akan dihadapi.
Nilai-nilai luhur siri’ na pacce merupakan gambaran kecil akan nilai-nilai budaya yang berakar pada sistem, tekad, dan prinsip yang esensial. Nilai-nilai budaya siri’ na pacce hakikatnya merupakan potensi dan kekayaan pola pikir yang dimiliki oleh bangsa ini dalam melahirkan sebuah kekokohan harkat dan martabat bangsa namun kini hanya tinggal sebuah cerita tanpa realita.
Nilai luhur inilah yang seyogyanya menjadi landasan pacu dalam mengambil keputusan yang arif, bijaksana, dan penuh rasa tanggung jawab. Jika setiap nilai yang dipegang teguh dalam prinsip budaya siri’ na pacce senantiasa di adopsi dalam pencitraan kebijakan nasional maka nilai-nilai tersebut akan menjadi pembaharu dan landasan pacu akan lahirnya sebuah stabilitas nasional karena nilai-nilai tersebut menuntut adanya sebuah kecerdasan emosional dan spiritual dalam mengontrol setiap kebijakan yang akan dilaksanakan. Ketika nilai-nilai budaya siri’ na pacce telah direfleksikan dalam penegakan hukum, penataan roda perekonomian, dan seluruh sub-sub penyelenggaraan pemerintahan maka nilai-nilai tersebut akan mampu melahirkan sebuah sistem yang beradab karena setiap kebijakan senantiasa dilandaskan pada harga diri dan kehormatan yang menumbuhkan sebuah kesadaran untuk mengambil langkah-langkah positif demi harga diri dan kebenaran dengan mensinergikan nilai intelektual, spriritual, dan emosional.
B.       LATAR BELAKANG
1.      Apa pengertian dari istilah Siri’ Na Pacce ?
2.      Bagaimana dampak budaya Siri’ Na Pacce dalam kehidupan suku Bugis Makassar ?
3.      Apa manfaat dari budaya Siri’ Na Pacce dalam kehidupan bermasyarakat suku Bugis Makassar?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Laica Marzuki menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’. Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun ini akan menjadi pegangan serta pedoman. Bila mana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran Siri’ na Pacce ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran banyak pihak termasuk saya pribadi sehingga harus di luruskan agar kedepannya ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar kedepannya.
Zainal Abidin Farid (1983 :2) membagi siri, dalam dua jenis:
1.      Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Shelly Errington (1977 : 43) : “ Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’. Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
2.      Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako” (Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah untuk menjadi pemimpin).

BAB III
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Dari Istilah Siri’ Na Pacce
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e ( seperti binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo ( karena malu kita hidup ).
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam ( dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain. Sedangkan pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di perantauan serta disegani. Pacce/pesse merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras. Jadi, kalau pepatah Indonesia mengatakan “ Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul ”. Itulah salah satu aplikasi dari kata pacce/pesse, jadi Siri’ skopnya dalam skala intern, sedang pacce/pesse bersifat intern dan ekstern, sehingga berlaku untuk semua orang.
Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara masyarakat Bugis-Makassar (Sul-Sel) menjadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
2.      Budaya siri’ na pace dalam kehidupan suku Bugis Makassar
Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinterasi.
 Kebudayaan merupakan sebuah kompleksitas sosial yang didalamnya mengandung makna dan nilai yang sangat kompleks juga. diantaranya adalah, kebudayaan dianggap sebagai sebuah sistem pengetahuan, gagasan, dan ide yang kemudian menjadi landasan fundamental dalam sosial comunity baik dalam berfikir maupun dalam bertindak. dan kebudayaan ini pula memiliki hegemoni pengetahuan terhadap masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, seni dan keyakinan maupun dalam hal pengawalan terhadap perubahan (chance).
Indonesia sebagai negara yang memiliki peradaban yang tinggi dan beragam budayanya menghiasi seluruh wilayah nusantara. terkhusus di sulawesi-selatan ada yang dinamakan budaya "siri' na pacce" yang mengakar dalam jiwa masyarakat sul-sel. secara konseptual patut diyakini bahwa budaya siri'merupakan sebuah sistem yang kompleks dan memiliki nilai tersendiri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Budaya siri' mengutamakan kejujuran dan komitmen, mengarahkan untuk cerdas dalam berfikir dan bijak dalam bertindak, menjunjung tinggi harga diri dan martabat kemanusiaan (humanis), refleksi harga diri dalam kinerja agung dan prestasi, mengutamakan kewajiban daripada hak, rasa malu apabila melanggar aturan, satu kata dengan perbuatan, solid dan berorientasi ke depan.
Tetapi kemudian harus dipahami bahwa budaya siri' na Pacce bukan sesuatau yang diajarkan secara formal tetapi ia muncul dari kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka tidak boleh dipaksa untuk melakukan sesuatu diluar kebiasaan tersebut akan tetapi membutuhkan sesuatu yang berangkat dari kesadaran dan kebiasaan sebagaimana yang terkandung dalam budaya lokal sulawesi-selatan yakni diantaranya Keterbukaan/Akuntabilitas, Demokratis, Profesionalisme,dan kemandirian, serta kalitas manusia yang bermutu.
3.        Manfaat Dari Budaya Siri’ Na Pacce Dalam Kehidupan Bermasyarakat Suku Bugis Makassar
Pernah suatu waktu seorang anak peremuan di buang oleh ayahnya karena hamil di luar nikah. Tanpa rasa kasihan, ayahnya dengan tega membiarkan anak itu menyeberang pulau karena dianggap mempermalukan keluarga. Salah satu budaya masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) yang masih ada sampai saat ini adalah “siri”. Siri bagi masyarakat Sulawesi selatan adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Sehingga tidak aneh kalau seorang ayah rela membuang anaknya ke tempat yang jauh demi menjaga kehormatan.
Siri dapat diafsirkan sebagai budaya malu, harga diri, kepatuhan tidak melanggar kesepakatan bersama, atau juga keberanian mempertahankan prinsip. Budaya siri inilah yang membentuk karakter masyarakat Sulsel yang keras dan teguh pendirian.
Siri tidak hanya berlaku dalam lingkungan keluarga. Juga dapat diterapkan dalam lingkungan sosial maupun pemerintahan. Seseorang yang menerapkan siri dalam kehidupan sosialnya tidak akan melanggar norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Begitupun dengan pemimpin yang menginternalisasi siri dalam setiap geraknya tentunya akan menjadi pengayom bagi rakyatnya. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi penyakit akut birokrasi tentunya tidak akan terjadi jika pemimpinnya memahami siri sebagai budaya yang harus diimplementasikan dalam lingkungan birokrasi.
Kini, budaya siri bermetamorfosis menjadi pakasiri-siri. Kita sudah lupa dingan siri. Terlalu sering kita melakukan hal yang pakasiri-siri. Kita tidak lagi malu untuk merampas hak orang lain, menggusur tanah rayat miskin.
Budaya siri’ napacce  sudah tidak dapat dipisahkan dengan orang bugis-Makassar, para orang tua dahulu merasa lebih baik kehilangan harta, pangkat atau status lain dari pada siri’nya yang  hilang (nipelakkangi siri’na) bahkan nyawa pun sudah tidak ada lagi harganya ketika sudah menyangkut siri’. Sehingga tidak jarang ada yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau kalau sudah merasa ni pakasiriki (di buat malu), dan terkadang rasio sudah tidak lagi jalan , sehingga terkadang diakhiri dengan adu badik (adu nyawa) dan siapa yang mampu membela keluarga lantaran siri’ napacce ia di anggap pahlawan dalam keluarga dan ia akan dihormati dan dieluk-elukan.
 Budaya siri’ ini terutama yang menyangkut tentang Wanita, jika ada anak wanita yang diganggu maka pihak keluarga perempuan akan mengambil tindakan eksekusi terhadap laki-laki itu.  Begitu pula jika ada seorang laki-laki yang melarikan anak prempuan, maka  bagi mereka itu  sudah dianggap tidak ada lagi, alias mati.  Begitu ketatnya dalam menjaga anak perempuan sehingga mereka itu dipingit dalam rumah, keluar rumahpun harus didampingi oleh keluarganya dan ketika keluar rumah tidak diketahui siapa ia karena seluruh tubuhnya dibungkus dengan kain mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.  Untuk dapat melihat seorang wanita terkadang harus panjat kelapa itu baru bisa melongok ke dalam rumahnya. 
Namun itu adalah hanya tinggal cerita lama, karena lambat laun sudah mulai pupus sedikit demi sedikit, bahkan sekarang orang bugis-Makassar sudah mulai hilang jati dirinya (siri’ Napacce), Orang bugis Mkassar sudah kendor terutama dalam menjaga anak perempuan,  sekarang ini kalau anak perempuan mau pergi tidak lagi ditanya mau kemana apalagi mau di dampingi, orang tua juga mulai terpengaruh dengan budaya dari luar dan takut dikatakan orang tua terbelakang, ketinggalan jaman (jumud), sehingga tidak peduli lagi terhadap pergaulan anak-anaknya, malah ada orang tua merasa aneh kepada anaknya ketika anaknya itu tidak memiliki kawan laki-laki yang selalu apel dan datang menjemput dan mengembalikannya.  Sehingga yang terjadi dalam pergaulan biasa kita menemukan ada anak peremuan hamil sebelum nikah, kalau dulu pasti anak ini sudah diakhiri hidupnya, tetapi sekarang ini justru tidak malah dicarikan jalan supaya dapat ditutupi rasa malu dengan cara mengawinkannya.
Satu kata lagi yang sering disandingkan dengan Siri’ adalah Pacce. Secara istilah, digambarkan oleh Andaya (1979) :
…In the term of Siri’ are contained two seemingly contradictory meanings; it can means ‘shame’. But also ‘self esteem’ or ‘self respect’…
The second important element is the concept of Pacce (Makassar)/Pesse (Bugis). In everyday usage it means ‘to smart’ and ‘poignant’, but it express a more subtle and intimate emotion than the literal meaning would suggest, as can be seen from the following Makassar and Bugis sayings :
(Makassar) : Ikambe Mangkasaraka, punna tasiri’, pacceseng nipabbulosibatangngang.
Trans : If it is not Siri’ which makes us, the Makassar People, one, then it is pace
(Bugis) : Ia sempugikku rekkua de’na siri’na engka messa pessena.
Trans : If there is no longer siri’ among us Bugis, at least there is certain to be pesse.
…Pacce and Siri’ are twin concepts which define the Bugis-Makassar individual. Maintaining an equilibrium between shame and self respect as understood in Siri’ and nurturing a sense of sharing, commiserating in the sorrows and the sufferings of any member of one’s community as expressed in the notion of pacce, are expected of a Bugis or Makassar…The ties between them are thus reinforced and the solidarity of the group maintained.
Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau sesusahan individu lain dalam komunitas. Laica Marzuki (1995) menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’.
Dua term ini adalah konsep tunggal yang mesti berjalan bersamaan untuk disebut sebagai manusia. Siri’ tanpa Pacce atau sebaliknya akan menjadikan semacam split personality dalam diri orang bugis makassar. Tetapi sering kita mendengar ungkapan pepatah Makassar mengatakan : Punna tena Siri’nu pa’niaki paccenu (Kalau sudah tidak memiliki Siri’ lagi, maka perlihatkan paccemu. Ini sebagai sindiran untuk orang yang harkat martabatnya jatuh dan sekaligus juga tidak turut merasa pedih atas keperihan orang lain.
Pesan Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri Gowa sekaligus Raja Tallo (1639-1653) yang sarat nilai Siri’ dan Pacce berikut masih sangat relevan untuk kita jadikan pelajaran berbangsa dan bernegara : “Limai pammanjenganna matena butta lompoa. Uru-uruna punna teya nipakainga karaeng ma’gauka; makaruwanna punna taena tumangngasseng ilalang pa’rasangang lompo; makatallunna punna mangngalle soso’ gallarrang mabbicarayya; makaappa’na punna majai gau’ ilalang pa’rasangang malompoa; makalimanna punna tanakamaseang atanna karaeng ma’gauka” ( Ada lima sebab sehingga sebuah negeri rusak ; Pertama, kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati; kedua, kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu Negara besar; ketiga, kalau para hakim dan pejabat-pejabat kerajaan makan sogok; keempat, kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu Negara; kelima, kalau raja tidak menyayangi rakyatnya).
Dalam budaya Siri’ na PacceSulawesi Selatan, ada beberapa sub yang  dikenal dengan konsep patang sulapa’ atau empat dimensi manusia. H.A. Aminuddin Salle, menjabarkan empat dimensi ini dalam salah satu buku beliau. Empat dimensi yang dimaksud adalah bahwa manusia harus memiliki empat sikap dasar yaitu kejujuran (kalambussang), keberanian (kabaraniang), kekayaan (kakalumanyangang), kecerdasan (kacaraddekang). Empat dimensi ini bila bergabung dengan sempurna akan membentuk To-Panrita (manusia sempurna/insan kamil). Kita akan melihat hubungan antara lima sifat yang diakui sebaga fitrah manusia itu dan hubungannya dengan patang sulapa’ yang berkembang dan mewarnai budaya Sulawesi Selatan.
1.      Kalambussang (kejujuran)
Lambusu’ atau jujur mengandung sifat; tutui (berbuat cermat), baji bicara (bicara yang benar/baik), anggau baji (melakukan perbuatan bermanfaat), kuntu injeng (bekerja dengan penuh kesungguhan dan bertanggung jawab). Dikatakan pula bahwa seorang pemimpin yang jujur mencerminkan pribadi pemaaf, artinya jika orang berbuat salah padanya dia lantas memberi maaf. Jika diserahi amanat dia tidak khianat, dan jika bukan bagiannya dia tidak menserakahinya. Dia bekerja untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk dirinya sendiri.
2.      Kabaraniang (keberanian)
Sedangkan kabaraniang atau sifat pemberani pada hakekatnya mengandung empat unsur yakni tammallakki nipariolo (tidak takut jadi pelopor), tammallakki nipariboko (tak takut berdiri di belakang) dalam artian memberi kesempatan kepada orang lain yang lebih potensial ataupun dalam rangka pengembangan potensi orang lain, tammallakki allangngere kabara (tak gentar mendengar kabar yang baik maupun buruk, menerima kritik dan saran dari orang lain, berjiwa besar dan mempunyai sifat ingin tahu), serta tammallakki accini bali (tak gentar dalam menghadapi lawan -baik dalam berunding maupun berperang-, tegas dan konsisten).
3.      Kakalumanyangang (kekayaan)
Sifat ini menyiratkan pada sifat yang tamakkurangi ri nawa-nawa (tidak kehabisan imajinasi, senantiasa berinisiatif dan penuh kreatifitas), tamakkurangi ri bali bicara (tidak kekurangan jawaban, kaya akan pengetahuan), masagena ri singkamma gau (mahir dan terampil dalam setiap pekerjaan), tamakkurangi ri sikamma pattujuang (tidak kekurangan usaha karena memiliki modal).
4.      Kacaraddekang (kecerdasan)
Manusia yang mempunyai sifat ini adalah manusia yang cinta pada perbuatan yang memberi manfaat; orangnya suka pada kelakuan yang menimbulkan kemaslahatan. Manusia semacam ini jika menemukan permasalahan selalu berusaha mengatasinya dan jika melaksanakan segala sesuatu selalu berhati-hati.
Dalam hubungannya dengan lima sifat fitrah yang dikemukakan oleh para ahli, sangat jelas bahwasanya unsur-unsur dari patang sulapa’ ini diperlukan untuk mencapai fitrah. Kejujuran akan membawa pada kebenaran dan merupakan akar dari akhlak yang baik. Kejujuran akan melestarikan kecenderungan pada keindahan, kreatifitas dan pengakuan akan pentingnya ibadah kepada Tuhan. Demikian pula dengan Keberanian, Kekayaan, dan Kecerdasan dalam pengertian yang telah dikemukakan diatas. Keseluruhan unsur dari patang sulapa adalah sifat-sifat dasar yang mesti dimiliki oleh manusia agar dapat tetap memelihara dan mengembangkan fitrahnya sebagai manusia.
Dikatakan pula bahwa manusia yang memiliki dan mengamalkan keempat sifat ini secara menyeluruh akan menjadi To Panrita, menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Sudah barang tentu manusia yang utuh adalah manusia yang senantiasa memelihara dan mengembangkan fitrahnya sebagai manusia. Hanya manusia seperti ini yang akan terbebas dari alienasi maupun tipu daya dunia yang seringkali menyesatkan. Maka menjadi sangat jelas kesesuaian antara fitrah manusia (yang telah diakui oleh para ahli) dengan patang sulapa’ yang menjadi sendi kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan.

BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Siri’ na pacce adalah secercah harapan dalam merekonstruksi sebuah tatanan pemerintahan bangsa ini demi perubahan yang lebih baik. Siri’ na pacce dan beragam budaya yang terhampar di atas zamrud khatulisitiwa pada hakikinya adalah sebuah raksasa yang tertidur. Budaya siri’ na pacce dan sejumlah budaya lainnya menyimpan sebuah kekuatan kapasitas dalam merekonstruksi sebuah tatanan pemerintahan yang kian terpuruk serta membangun mentalitas dan moralitas dalam pelaksanaan roda pemerintahan yang jujur, adil, dan bertanggung jawab sebagai lambang kewibawaan bangsa ini sebagai instrumen kontrol pelaksanaan roda kehidupan. Implementasi dari nilai-nilai budaya tersebut merupakan sebuah langkah representatif dalam mengakomodasi dan mengkonsolidasi kemajemukan bangsa sebagai formulasi dalam menyusun kesamaan visi dan gerak untuk bertindak melakukan perubahan dengan penumbuhan jiwa-jiwa dan semangat berbangkit sebagai nilai prinsipil kebudayaan.
Nilai prinsipil dari budaya inilah yang sepatutnya diterapkan dalam setiap lini kehidupan pemerintahan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk menciptakan iklim stabilitas keamanan dan kesejahteraan yang kondusif menuju sebuah kemajuan serta kemandirian bangsa yang besar dan bermartabat sebagai pencitraan akan potensi pemikiran sebuah kebudayaan lokal dalam interpretasi menuju optimalisasi kebijakan nasional melalui proteksi dan vaksinasi terhadap setiap virus-virus amoralitas.

B.     SARAN
Dari pembahasan diatas sekiranya kita sudah sangat faham wujud dan bentuk dari budaya Siri’ Na Pacce, dengan harapan dengan melalui tulisan ini, kita semua dapat mengambil hikmah dan ilmu dari hal tersebut. Perlu kita sadari sangat banyak suku-suku bangsa di Negara ini yang bias dipastikan memiliki cirri khas dan budaya masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya dan memiliki tradisi dan fungsi dalam tatanan suku itu secara tersendiri dan berbeda dengan suku lain.
Adapun jika dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan, kiranya kami diberikan masukan yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini dann ilmu tersendiri buat kami pribadi sebagai penulis.
DAFTAR PUSTAKA
-          Expedisipassompa.blogger.com (Diakses 13 december 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Galeri Foto Tragedi Makam Mbah Priok Berdarah, 14 April 2010

by. charment Putra Maspul Ini adalah merupakan seuntaian bukti sejarah baru di negeri ini akan kekerasan dari pihak aparat yang menindas rakyat kecil, dengan semena-mena menganiya, menyiksa, bahkan membunuh rakyat demi pekerjaan mereka (SATPOL PP). namun kemudian muncul tanda tanya besar, Siapakah yang pantas bertanggung jawab dengan Kasus Makam Mbah Priok ini??? Kesalahan siapa??Apakah Gubernur DKI, Kesatuan Pamong Praja DKI, Ataukah Masyarakat yang mempertahankan makam Mbah Priok?? Belum ada yang bisa menjawab semua pertanyaan tersebut, namun korban telah berjatuhan, darah telah mengalir, nyawa-nyawa tak berdosa telah melayang. Dimana hati para pemimpin bangsa ini, sebiadab itukah SATUAN POLISI PAMONG PRAJA? apakah tujuan mereka dibentuk untuk menindas dan menghancurkan rakyat kecil??apakah mereka bukan manusia selayaknya punya hati nurani yang juga berasal dari rakyat kecil?? TANDA TANYA BESAR????? Pantaskah SATPOL PP Dibubarkan sesuai tuntutan sebagian rakyat?? mari sat

MAKALAH ETNOGRAFI SUKU BANGSA MOI DI DESA KANDATE DEPAPRE PROV. PAPUA

--> Tugas Kelompok ETNOGRAFI SUKU BANGSA MOI DI DESA KANDATE DEPAPRE Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etnografi Papua Dosen pembimbing: Drs. Susanto, M.Hum Disusun Oleh: Kelompok IV 1. ABD. KARMAN 2. MARYATI 3. RISMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) AL-FATAH JAYAPURA 2010 I. PENDAHULUAN Istilah Etnografi berasal dari bahasa yunani kuno, Etnos dan Graphy. Etnos berarti bangsa dan grafi berarti diskripsi atau pelukisan. Dengan demikian etnografi adalah pelukisan mengenai bangsa-bangsa . Adapun kita sebagai penduduk wilayah provinsi Papua berkewajiban mengetahui akan suku-suku bangsa yang ada di Papua ini demi terjalinnya hubungan harmonis antara kita sebagai penduduk dengan masyarakat asli papua itu sendiri. Dan perlu kita ketahui bahwa Papua adalah merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang memili s